arta, 3 Oktober 2021 – Koalisi Selamatkan Anak Indonesia sampaikan surat desakan beserta kertas kebijakan kepada pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT). Koalisi Selamatkan Anak adalah Koalisi interdisipliner dan antar profesi yang berfokus pada keselamatan anak dan keberlanjutan pendidikan di Indonesia selama pandemi Covid-19. Koalisi menilai kebijakan PTMT tanpa syarat vaksinasi dan standar epidemiologis yang ketat justru mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan anak, terbukti dengan maraknya pengaduan masyarakat tentang pelanggaran protokol kesehatan dan kasus positif selama PTMT. Pemerintah perlu menunda pelaksanaan PTMT dan membenahi berbagai aspek sebelum PTMT dapat terlaksana demi terjaminnya keselamatan anak.
Natasha Devanand Dhanwani, anggota advokasi LaporCovid-19, menyatakan bahwa PTMT mengancam nyawa anak karena tingkat vaksinasi masih rendah. Kita bisa lihat dari dashboard vaksin Kemenkes bahwa tingkat vaksinasi pada pelajar sampai tanggal 2 Oktober 2021 baru mencapai 14,71% untuk dosis pertama dan 9,98% untuk dosis kedua. Sedangkan capaian vaksinasi untuk guru baru mencapai 62,18% dosis 1 dan 38% dosis 2 pada 22 September 2021. Vaksin memang bukan senjata utama dalam menekan laju penularan, namun vaksin dapat mengurangi keparahan ketika terjangkit Covid-19, sehingga patut dijadikan syarat pembukaan PTMT. Selain itu Natasha juga melihat bahwa pembukaan sekolah untuk anak usia 12 tahun sangat berbahaya. Vaksin untuk anak dibawah 12 tahun masih dalam pengkajian, tetapi anak dibawah 12 tahun masih harus PTMT. Ini artinya potensi paparan terhadap anak bisa terjadi, karena laju penularan masih terjadi, dan ketika anak terjangkit, maka akan menimbulkan keparahan. kata Natasha.
LaporCovid-19 juga masih menemukan gap pada data kematian yang dilaporkan oleh Kemenkes dan Pemerintah Provinsi. Angka jumlah testing yang tidak dibuka di level kota dan kabupaten juga menjadi masalah, sehingga kita tidak mengetahui seberapa banyak angka yang dites, padahal jumlah orang yang dites mempengaruhi angka positivity rate. Positivity rate yang dilaporkan memang rendah, dibawah 5%, namun perlu dicatat bahwa angka tersebut tidak sahih karena positivity rate yang ada masih mencantumkan hasil test antigen.
Dalam laporan yang diterima oleh LaporCovid-19 melalui kanal aduannya memperlihatkan bahwa pelanggaran di sekolah masih terus terjadi. Sejak bulan Januari 2021 sampai bulan September terdapat 167 laporan terverifikasi mengenai penyelenggaraan pembelajaran tatap muka. Di bulan September sendiri terdapat 22 laporan yang masuk mengenai tidak memadainya sarana prasarana pendukung untuk memitigasi penyebaran Covid-19 di sekolah, pelanggaran protokol kesehatan oleh warga sekolah, dan penyimpangan yang dilakukan sekolah terkait perizinan masuk sekolah tatap muka yang seharusnya dengan persetujuan orang tua.
Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga menyampaikan bahwa argumentasi pemerintah yang ingin segera membuka sekolah didasarkan pada asumsi-asumsi yang prematur. Salah satunya klaim soal angka putus sekolah yang naik drastis selama pandemi Covid-19 terbantah dengan data Kemdikbud Ristek bahwa angka putus sekolah masih lebih tinggi tahun sebelumnya, misalnya 2018-2019 mencapai 301.127 siswa, sedangkan 2019-2020 lebih rendah yaitu 157.166 siswa. Memang terdapat permasalahan selama pendidikan jarak jauh (PJJ) namun hal tersebut juga terkait dengan buruknya jaminan aksesibilitas yang disediakan pemerintah. Ketimpang buru-buru PTM, pemerintah perlu membuat grand design pendidikan dalam situasi darurat kesehatan, untuk menjawab tantangan ke depan jika harus kembali pada situasi pembatasan yang ketat, pungkas Iman. Jika merujuk pada Dasbor Kesiapan belajar Kemdikbud Ristek per-3 Oktober 2021, sekolah yang mengisi baru 59, 56%. Artinya ada sekitar 217.310 sekolah (40,44%) yang belum siap untuk PTM terbatas, ujar Iman. Ia juga mengkhawatirkan aspek pengawasan selama PTMT. Dari laporan P2G di berbagai daerah seperti Kabupaten Bogor, Blitar, Karawang, Bima,Bukittinggi dan Aceh Timur, pelanggaran protokol kesehatan di sekolah masih terjadi. Selain itu pengawasan juga minim. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, pengawasan hanya dalam bentuk isian modul online saja. Di Kabupaten Bima dan Karawang, pengawasan, sosialisasi dan pelatihan juga kurang diberikan Dinas Pendidikan Pemerintah daerah (Pemda). Sehingga pelanggaran lebih sering terjadi karena ketidaktahuan, tambah Iman.
Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta menyampaikan bahwa sikap pemerintah yang mengabaikan ukuran-ukuran epidemiologis dalam pelaksanaan PTMT menunjukan abainya negara menjamin hak anak dan warga sekolah mendapatkan jaminan status kesehatan tertinggi yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan. SKB 4 Menteri yang tidak mengatur syarat vaksinasi untuk pelaksanaan PTMT juga tidak konsisten dengan konsiderans peraturan tersebut yang secara jelas menyatakan bahwa percepatan vaksinasi warga sekolah diperlukan untuk percepatan PTMT. Kondisi tersebut menunjukan pemerintah belum memprioritaskan kesehatan masyarakat ketimpang aspek lain seperti ekonomi, padahal dalam situasi yang ditetapkan pemerintah sebagai kedaruratan kesehatan, tidak mungkin menomorduakan aspek kesehatan, pungkas Charlie.
Bahwa berangkat dari catatan kritis permasalahan penyelenggaraan PTMT tersebut, Koalisi menuntut Presiden RI dan Para Menteri terkait untuk:
LaporCovid-19 | LBH Jakarta | Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) | Center for Education
Regulations and Development Analysis (Cerdas) | YLBHI| LBH Rakyat Banten | Surabaya Children
Crisis Center (SCCC)
Contact Person:
Yemiko Happy, Lapor Covid-19 – 081358982549
Charlie Albajili, Pengacara Publik LBH Jakarta – 087819959487
Iman Zanatul Haeri, Ketua Advokasi – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) – 081297249429