Jakarta, 2 Maret 2021. Pada 27 Februari 2021, LaporCovid-19 mengadakan diskusi publik dengan tema Adil dan Bijakkah Vaksin Mandiri?. Diskusi ini diselenggarakan untuk menanggapi keputusan Menteri Kesehatan RI yang telah memperbolehkan pelaksanaan vaksin mandiri oleh badan usaha kepada karyawannya, sebagaimana tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.Pemerintah mengklaim vaksin mandiri perlu dilakukan untuk mencapai target kekebalan kelompok (herd immunity) karena akan semakin banyak kelompok yang divaksin dengan adanya pelibatan sektor swasta. Namun, alih-alih mencapai kekebalan kelompok, skema vaksin mandiri sebenarnya bermasalah, baik dari perspektif hukum maupun kaidah ilmu kesehatan masyarakat.Dalam diskusi Adil dan Bijakkah Vaksin Mandiri?, Direktur YLBHI Asfinawati memaparkan persoalan vaksin mandiri dari perspektif hukum, sementara ahli epidemiologi dari Griffith University, dr. Dicky Budiman, menyampaikan pandangan dari sisi ilmu kesehatan masyarakat.
Asfinawati, Direktur YLBHI, memaparkan bahwa :
1. Prioritas vaksin perlu diberikan kepada kelompok rentan, yaitu tenaga kesehatan dan lansia, sesuai dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 5 UU Kesehatan. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 menekankan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan. Artinya, sumber daya di bidang
kesehatan, termasuk vaksin, perlu diberikan kepada kelompok yang rentan sebagai bentuk dari tindakan perlakuan khusus oleh negara. Masalahnya, skema vaksin mandiri dapat menggagalkan rencana ini. Sebab, dalam skema vaksin mandiri, vaksin diberikan kepada karyawan perusahaan, bukan kelompok rentan.
2. Kerangka aturan vaksin mandiri tertulis secara tidak lengkap pada satu dokumen aturan. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 menyatakan bahwa pengadaan vaksin antara lain dilakukan melalui penunjukan langsung kepada badan usaha penyedia, namun tidak dijelaskan siapa saja badan usaha penyedia tersebut. Detail tersebut hanya tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan di masyarakat.
3. Pasal 6 ayat (6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 menyatakan bahwa rencana kebutuhan vaksinasi sebagaimana tercantum pada ayat (1) dan ayat (4) merupakan acuan dalam pengadaan vaksin COVID-19, peralatan pendukung dan logistik yang diperlukan dalam pelaksanaan Vaksinasi, baik untuk Vaksinasi program maupun Vaksinasi gotong royong. Ini berarti pelaksanaan vaksin mandiri tidak hanya membutuhkan ketersediaan vaksin, tetapi juga peralatan pendukung, logistik, dan proses distribusi. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah peralatan pendukung tersebut saat ini tersedia dalam jumlah memadai dan tidak mengalami kelangkaan? Lalu, apakah distribusi untuk vaksin program pemerintah sudah berjalan baik dan tidak mengalami kekurangan orang dan sarana?
Pertanyaan kritis itu patut diajukan karena dalam situasi pandemi, vaksin dan peralatannya menjadi barang yang dicari oleh banyak orang sehingga berpotensi mengalami kelangkaan. Dalam situasi tersebut, patut dipertanyakan apakah pengadaan peralatan pendukung vaksinasi mandiri tidak akan menganggu pengadaan peralatan pendukung untuk program vaksinasi yang dijalankan pemerintah?
4. Pasal 11A ayat 2 Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 merupakan bentuk lempar tanggung jawab pemerintah kepada badan swasta. Pasal itu menyatakan bahwa pengambilalihan tanggung jawab penyedia vaksin (keamanan, khasiat dan imunogenisitas) oleh pemerintah dilakukan sepanjang proses produksi dan distribusi telah memenuhi pembuatan obat yang baik dan/atau cara distribusi yang baik. Artinya, ketika ada seorang warga negara yang mengalami dampak negatif dari vaksin, pemerintah akan mengembalikan tanggung jawab tersebut kepada produsen vaksin. Berdasarkan rekam jejak hukum, privatisasi barang publik kepada swasta menimbulkan permasalahan karena tidak adanya pihak yang akan bertanggung jawab ketika masalah terjadi.
5. Aksi lempar tanggung jawab pemerintah juga tercantum pada Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021. Menurut pasal itu, pelaksanaan vaksinasi COVID-19 terhadap kelompok prioritas dapat dilakukan melalui program vaksin mandiri mandiri. Artinya, vaksin untuk kelompok prioritas dapat dilakukan oleh pihak swasta, bukan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sementara itu, dr. Dicky Budiman mengingatkan fungsi vaksin berdasarkan kajian epidemiologi dan peran negara dalam memastikan tercapainya fungsi tersebut:
Kontak:
Amanda Tan, relawan LaporCovid-19 (+62- 858- 6604-4058)
Silahkan unduh Siaran Pers ini melalui tautan berikut.
Silahkan unduh materi presentasi oleh dr. Dicky Budiman melalui tautan berikut.
———————————————————————————————————————
LaporCovid-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Pendekatan bottom-up melalui citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID19.