Indonesia menjadi negara dengan jumlah kematian dan kasus baru Covid-19 terbesar di Asia Tenggara pada pertengahan 2021. Namun tingkat tesnya terendah. Tidak adanya pembatasan yang ketat, menyebabkan Indonesia secara konsisten mengalami kenaikan kasus positif harian. Laporan ini, merangkum beberapa temuan utama dari analisis hukum dan kebijakan yang diimplementasikan di Indonesia untuk menangani pandemi Covid-19, periode Maret 2020 sampai Mei 2021. Fokusnya antara lain adalah isu-isu yang berkaitan dengan jaminan perlindungan hak atas kesehatan dalam kebijakan penanganan Covid-19, serta penggunaan kekuatan militer untuk menerapkan kebijakan tersebut di lapangan.
Hak atas kesehatan adalah hal paling dasar dan harus menjadi landasan utama dari setiap respons penanganan pandemi. Hal ini juga dilindungi oleh Pasal 25 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Kemudian diperkuat oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan budaya (KIHESB); di mana Pasal 12 ayat (2) huruf c juga secara jelas menyatakan bahwa hak atas kesehatan mengharuskan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, perawatan, dan pengendalian pandemi, endemi, stres kerja, dan penyakit lainnya.
Di Indonesia, hak atas kesehatan rakyat dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 28H UUD 1945, serta UU 39/1999 tentang HAM. Indonesia juga telah meratifikasi KIHESB melalui UU 11/2005. Dalam situasi darurat, hak atas pemerataan akses kesehatan juga dijamin oleh UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Untuk menanggulangi pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan 131 peraturan. Beberapa di antaranya berisi klausul yang berpotensi menghambat realisasi hak atas kesehatan. Misalnya Kepmenkes 413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Bab III disampaikan bahwa kontak erat tanpa gejala tidak diberikan tes PCR oleh fasilitas kesehatan. Ini tidak sesuai dengan rekomendasi WHO, dan menyebabkan pengabaian tingginya risiko infeksi.
Salah satu penyebab buruknya pengendalian Covid-19 di Indonesia adalah kurangnya transparansi data, termasuk data statistik epidemiologi nasional. Kepemilikan data yang egosentris dan tumpang tindih, membuat pemerintah pusat sulit untuk mengintegrasikan dan memverifikasikan data Covid-19. Akibatnya, kesenjangan data kematian yang dilaporkan oleh pemerintah pusat dan provinsi semakin besar. Secara spesifik, LaporCovid19 telah menemukan jumlah kematian positif Covid-19 sebanyak 47.642 jiwa, per 28 April 2021. Sementara itu, pemerintah pusat hanya melaporkan sebanyak 45.116 kematian pada tanggal yang sama. Artinya, paling tidak ada 2.526 selisih kematian yang dicatat oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Terlebih, infrastruktur kesehatan masyarakat di Indonesia kurang memadai dan semakin diperparah dengan rendahnya kapasitas untuk tes, lacak, dan perawatan. Padahal ini strategi utama untuk mengendalikan rantai infeksi penyakit.
Pemerintah Indonesia tampaknya kurang memperhatikan kesetaraan vaksin saat menyusun dan mengimplementasikan rencana vaksinasi. Dampaknya, kelompok prioritas (tenaga kesehatan, lansia, orang dengan komorbid) berisiko tidak mendapatkan vaksin. Sementara kelompok yang tidak rentan justru divaksin. Hingga akhir Mei 2021, para lansia masih mengalami kesulitan dalam menerima informasi dan mengakses vaksin. Penyebabnya, mereka tidak memiliki gawai untuk melakukan pendaftaran, ada masalah teknis di pendaftaran, dan faskes yang kehabisan vaksin. Selama November 2020-Mei 2021, LaporCovid-19 telah menerima 50 laporan dari warga tentang vaksinasi yang meliputi masalah pendataan dan pendaftaran yang buruk, pemberian vaksin kepada kelompok non prioritas, dan lainnya. Masalah ketidaksetaraan vaksin lainnya adalah keputusan pemerintah untuk mengizinkan sektor privat atau swasta untuk memvaksinasi karyawan dan anggota keluarganya. Sedangkan pada saat yang sama, banyak tenaga kesehatan dan lansia belum divaksinasi.
Selain itu, pemerintah menerapkan sanksi bagi mereka yang menolak untuk divaksinasi, berdasarkan Peraturan Presiden 14/2021. Hal ini meliputi: penghentian pemberian bantuan sosial, layanan administrasi, dan atau denda, serta pidana. Sanksi ini bertentangan dengan hak dasar tentang jaminan sosial dan kartu tanda penduduk. Seharusnya hal ini tidak boleh diterapkan untuk seseorang yang menolak divaksinasi. Masalah keraguan tentang vaksinasi tidak bisa diselesaikan dengan penerapan sanksi.
Di Indonesia, TNI dan Polri dilibatkan dalam merespons pandemi COVID-19. Setidaknya ada 16 peraturan darurat membuat TNI mampu melakukan pengambilan keputusan tingkat tinggi. Keterlibatan TNI dan Polri pada level pengambil kebijakan tertinggi Gugus Tugas I Covid-19, jelas terlihat dari payung regulasi penanganan COVID-19. Hal ini meliputi penugasan militer untuk melakukan pelacakan kontak, akan tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan efektivitas keterlibatan mereka dalam meningkatkan pengujian. Bahkan, polisimasih dirasakan oleh banyak warga sipildianggap sebagai institusi menakutkan, memiliki kewenangan melakukan pemaksaan, tindakan kasar, dan menyebabkan banyak orang menghindari kontak dengan mereka.
Peran TNI dalam menertibkan pelaksanaan protokol kesehatan dinilai tidak efektif. Sebagai contoh, selama Juli 2020 hingga April 2021, LaporCovid-19 masih menerima setidaknya 1.096 laporan ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan meskipun ada pengerahan dari panglima militer. Penerapan bagi para pelanggar protokol kesehatan meliputi sanksi fisik (seperti memaksa orang untuk tidur di peti mati dan push-up), pemukulan, penggunaan meriam air untuk membubarkan massa, dan penganiayaan. Apalagi, selama pandemi, militer dan polisi sering menangkap demonstran dengan dalih pembatasan sosial dan protokol kesehatan. Mereka yang ditangkap ditelanjangi di kantor polisi dan berkumpul di ruangan tertutup tanpa menerapkan protokol jaga jarak.
Pemerintah Indonesia tidak pernah memberlakukan karantina wilayah secara penuh sebagai opsi untuk mengendalikan penyebaran COVID-19. Alasannya, lockdown akan berdampak buruk terhadap perekonomian. Fokus utama dari pemerintah terhadap perekonomian daripada pemulihan kesehatan juga terlihat dalam struktur baru dari Satgas Covid-19. Terdapat tiga dari empat posisi kepemimpinan kunci di Satgas adalah orang dari Kementerian Perekonomian. Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah terlalu jauh mengalihkan perhatian kebijakan dari krisis kesehatan ke arah pemulihan ekonomi.
Pemerintah mengumumkan enam program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk memitigasi dampak COVID-19 kepada kelompok marginal. Namun, karena kekacauan pengumpulan data penerima manfaat, bantuan sosial belum tepat waktu dibagikan kepada semua penerima yang memenuhi syarat. Kehadiran penerima manfaat fiktif, pendataan yang buruk, praktik korupsi bantuan sosial, kolusi dan nepotisme (KKN) juga diidentifikasi sebagai masalah.
Indonesia kini menghadapi gelombang baru infeksi dan kematian akibat COVID-19, akan tetapi pemerintah gagal untuk menerapkan langkah-langkah yang efektif serta terpusat. Berdasarkan temuan di atas, kami memberikan rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh pemerintah, meliputi sebagai berikut:
DISUSUN OLEH:
LaporCovid-19
Dibentuk oleh sekelompok individu yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19. Koalisi ini dibentuk di awal Maret 2020, ketika kasus COVID-19 merebak dan ditemukan secara resmi. ( https://laporcovid19.org/tentang-kami )
DIDUKUNG OLEH:
Harm Reduction International
LSM terkemuka yang berdedikasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan, sosial, dan hukum dari penggunaan narkoba dan kebijakan narkoba. Kami mempromosikan hak – hak orang yang menggunakan narkoba dan komunitasnya melalui penelitian dan advokasi untuk mencapai dubia dimana kebijakan dan undang – undang narkoba berkontribusi pada masyarakat yang lebih sehat dan lebih aman. Organisasi ini adalah LSM dalam Status Konsultatif Khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa – Bangsa. (https://www.hri.global/what-is-harm-reduction )
Informasi lebih lanjut, hubungi kami
Email : laporcovid19@gmail.com
Twitter : @laporcovid
Instagram : @laporcovid19
Facebook : Koalisi Warga LaporCovid-19
Web : https://laporcovid19.org/