KENDARI, KEMITRAAN – Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah perempuan pemulung sampah plastik di laut berupaya sekuat tenaga agar tetap bertahan. Mereka hanya bertopang pada sampah untuk memenuhi kebutuhan harian. Sebab, meski triliunan bantuan disalurkan pemerintah, nama mereka tidak pernah masuk sebagai kelompok penerima.
Sebagai salah seorang peserta jurnalisme warga yang digagas Kemitraan, salah satu isu yang ingin saya angkat adalah timpangnya bantuan untuk masyarakat kecil. Setelah mencari informasi ke sejumlah pihak, saya menemukan adanya kelompok pemulung sampah plastik di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, yang tidak kunjung menerima bantuan.
Setelah menerima informasi ini, saya lalu mengatur jadwal untuk mengunjungi para pemulung laut ini. Mereka adalah pemulung sampah plastik di laut yang menyisir perairan dengan sampan. Mereka mendayung sampan dengan jarak rata-rata lima kilometer setiap hari untuk mengumpulkan sampah.
Pada pekan kedua Desember 2021, saya bertemu dengan Marniati (39). Ibu dua anak ini menetap di RT 11/RW 05, Kelurahan Petoaha, Kecamatan Abeli. Lingkungan ini berada di pesisir Teluk Kendari yang dihuni sebagian besar nelayan maupun mereka yang mencari penghidupaan dan beraktivitas di laut.
Saat tiba di kediamannya, Marniati tengah menyusun berkarung-karung sampah plastik yang telah dikumpulkan. Sampah berbagai jenis tersebut telah dipilah berdasarkan jenis dan ukuran. Plastik kemasan minuman, hingga kemasan oli telah dipisahkan.
Menurut Marniati, harga sampah plastik yang dipilah jauh lebih mahal dibanding tidak dipilah. ?Kalau dipilah bisa sampai Rp 3.500 per kilogram. Kalau tidak dipilah, rata-rata Rp 2.000 per kilogram,? katanya.
Memulung sampah telah dilakukan perantau asal Sulawesi Selatan ini sejak 2008 lalu. Saat itu, kebutuhan hidup keluarganya sangat pas-pasan. Setelah berusaha mencari pekerjaan, ia merasa memulung sampah di laut adalah hal yang paling mungkin ia lakukan.
Sejak saat itu, ia mulai memulung sampah. Setiap pagi, sekitar pukul 06.00 Wita, ia mulai mendayung sampan bekas miliknya menuju muara teluk. Sampah yang ditemui diangku ke sampan. Ia baru mendayung pulang ketika tengah hari, atau saat sampah yang diangkut telah dirasa cukup. Sebotol air mineral dan sepotong roti menjadi bekal saat ia bekerja.
?Kadang cuma bawa air saja kalau tidak ada uang,? sambungnya.
Saat mencari sampah, sejumlah kendala dihadapi. Tidak jarang ia pulang dengan hasil yang sedikit, atau sampan yang terbalik. Ia harus berenang, membalik sampan, dan kembali mengumpulkan sampah yang berceceran.
Mengumpulkan sampah menjadi penghasilan utamanya. Suaminya, Juhanis (41), yang seorang nelayan, terkadang pulang tidak membawa hasil. Sementara itu, anak bungsunya, Israfil (8), masih bersekolah dan membutuhkan biaya. Anak sulungnya, Nurul Hikmah (17) baru saja menikah.
Terlebih lagi, di masa Covid-19 ini, penghasilan semakin sulit. Harga plastik di pengepul tidak menentu. Belum lagi saat Pembatasan yang pernah berlangsung di Kendari. Ia harus keluar sembunyi-sembunyi mencari ikan atau kerang di laut untuk dimakan.
?Mau bagaimana lagi, karena tidak ada bantuan sama sekali. Kalau kita tidak kumpulkan sampah, kita tidak makan,? katanya.
Seumur hidup, tutur Marniati, ia tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Di masa Covid-19, di mana berbagai bentuk bantuan disalurkan pemerintah, ia tidak juga masuk sebagai penerima bantuan. Padahal, tidak terhitung jumlahnya ia menyetor berkas untuk menjadi penerima bantuan.
?Kalau ditanya berkas yang saya setor, mungkin data saya sudah setinggi plafon di kantor sana,? katanya tersenyum miris. ?Tiga hari lalu saya diminta isi formulis lagi, tapi saya bilang tikak usah lah. Sudah capek saya menunggu bantuan.?
Tidak hanya dirinya, sejumlah pemulung sampah di laut di wilayah ini juga bernasib sama. Sebagian dari mereka adalah warga lanjut usia, juga janda. Di umur yang tidak lagi muda, mereka juga mengalami sejumlah problema kesehatan. Mulai dari hipertensi, diabetes, hingga stroke.
Di awal Januari 2022, saya kembali mendatangi wilayah ini. Meski sebelumnya telah berbincang dengan beberapa pemulung, saya ingin melihat lebih dekat keseharian, sekaligus memverifikasi cerita mereka.
Hanafiah (60), perempuan yang telah menjanda puluhan tahun ini bercerita, saat kehabisan uang, ia mencari kerang atau gurita di teluk. Jika hasil cukup, sebagian hasil ia jual ke pengepul, dan sebagian lagi dibawa pulang untuk dimakan.
?Tadi pagi saya ambil ikan yang terapung di dekat pelelangan. Sudah mati tapi masih bagus, insangnya masih merah. Ada tiga ekor tadi, saya makan sama kemanakan dan cucu,? kata warga RT 10/ RW 04 ini.
Ia lalu mengajak ke bagian belakang rumahnya yang difungsikan sebagai dapur. Di atas kompor, hanya ada sebuah periuk nasi yang terisi setengah. Tidak ada lauk lagi untuk makan malam.
?Kami hanya siram air putih saja biar tidak terlalu kering. Mau bagaimana lagi, kami tidak dapat bantuan,? katanya.
Melihat kondisi para pemulung sampah plastik di Teluk Kendari ini tentu menjadi hal yang ironi. Sebab, pemerintah menggelontorkan Ratusan triliun untuk bantuan ke Masyarakat miskin, dan terdampak Covid-19. Berbagai jenis bantuan tidak ada satupun yang menyentuh mereka.
Sejak bertahun-tahun lalu, berbagai bantuan disalurkan pemerintah. Selain Program Keluarga Harapan (PKH), di masa Covid-19 ini ada program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT). Bantuan ini berupa uang elektronik sebesar Rp 200.000 yang ditukarkan dengan bahan pangan. Tidak hanya itu, juga ada program BPNT-PPKM berupa bantuan sembako untuk masyarakat miskin. Selama 2021, total ada Rp 110 triliun bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah untuk masyarakat miskin, dan terdampak Covid-19.
Saya lalu menemui pemerintah lingkungan setempat untuk mencari tahu pokok permasalahan.
Ketua RW 04 Petoaha Syarifuddin mengatakan, di wilayahnya terdapat 80 keluarga dengan total 258 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 30 keluarga mendapatkan bantuan PKH, 14 keluarga mendapatkan BPNT, dan 17 keluarga pada bantuan BPNT-PPKM.
?Hampir semua pernah dapat bantuan. Karena setiap ada pengumuman akan ada bantuan, kami pasti minta semua KK warga. Apalagi di sini hampir semuanya adalah masyarakat berenghasilan rendah,? katanya.
Meski begitu, ia tidak mengetahui persis mengapa sejumlah pemulung laut di wilayahnya tidak juga mendapatkan bantuan berbagai jenis tersebut. Sejumlah hal bisa menjadi penyebab, salah satu yang utama adalah data yang tidak terverifikasi di pusat.
Menurut Syarifuddin, data setiap orang harus sinkron dari daerah hingga ke pusat. Data tersebut harus benar-benar sesuai, baik itu di Kartu Keluarga (KK), juga di Kartu Tanda Kependudukan (KTP). Data ini harus dicek di kantor pemerintah untuk mengetahui apakah telah valid dan terverifikasi.
?Masalahnya, kami juga tidak tahu yang mana yang valid dan yang tidak. Kalau sudah terima bantuan, pasti sudah valid. Makanya kami sampaikan ke warga yang belum terima bantuan, berkasnya di cek di kantor kelurahan atau kantor kecamatan,? kata Syarifuddin. ?Kalau belum terima juga, memang belum rezeki. Yang jelas, tiap akan ada bantuan, kami minta semua berkas warga tanpa terkecuali,? imbuhnya.
Ketua RT 10, RW 04 Petoaha Zainuddin menyampaikan hal serupa. Setiap akan ada bantuan, ia langsung menemui semua warga untuk meminta berkas kependudukan, khususnya, Kartu Keluarga.
Tidak hanya itu, ia mengaku seringkali membantu masyarakat untuk menguruskan berkas jika ada yang merasa tidak mampu untuk mengurus. Pengurusan berkas untuk mengetahui apakah telah valid dan tervalidasi ke data pemerintah pusat.
?Khusus untuk bansos, semuanya dipermudah hingga ke kecamatan. Tapi kalau kami tidak diminta untuk membantu, kami juga tidak bisa langsung menguruskan datanya,? tambahnya.
Dari perbincangan ini, saya melihat adanya persoalan mendasar terkait pendataan masyarakat. Warga hingga pengurus lingkungan tidak mengetahui apakah data yang disetorkan telah valid dan terverifikasi hingga ke pusat.
Ditemui terpisah, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin, atau mereka yang telah masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
?Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,? kata Ishak. Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar warga atau perwakilan keluarga segera mengecek nama dan berkas ke kantor pemerintah. Hal itu untuk mengetahui apakah data semua warga yang ada dalam KK benar-benar valid dan terverifikasi hingga ke pusat.
Ketua Kelompok Perempuan Pesisir Mutmainnya menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainnya aktif mengorganisir perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga, juga warga lanjut usia.
Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga berpenghasilan rendah yang terkendala dalam menerima bantuan, khususnya di Kecamatan Abeli dan Nambo, Kendari. ?Khusus untuk pemulung, data kami ada enam orang yang tidak mendapatkan bantuan sama sekali. Selebihnya adalah mereka yang juga belum mendapatkan bantuan, atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,? katanya. ?Tapi untuk mengurus berkas saja mereka kan sulit karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian. Seharusnya pemerintah mengecek nama yang tidak bisa terdata daring, dan segera menguruskan, khususnya kepada warga miskin yang sulit mengakses,? tambahnya.
Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.