Petugas Bantu Warga Kabur dari Karantina, Bukti Pengawasan Lemah

SIARAN PERS

Petugas Bantu Warga Kabur dari Karantina, Bukti Pengawasan Lemah

Saat pandemi Covid-19 belum berakhir, pelanggaran terhadap kewajiban karantina kembali terulang. Kali ini, selebgram Rachel Vennya dan Salim Nauderer kabur dari karantina setelah dari Amerika Serikat yang diduga dibantu salah satu anggota TNI. Kasus ini tidak hanya melanggar hukum dan menunjukkan kelalaian pemerintah menegakkan aturan karantina, tetapi juga membahayakan kesehatan publik.

Karantina kesehatan wajib dilakukan setiap individu yang bepergian dari luar negeri untuk memitigasi risiko transmisi virus (UU Kekarantinaan Kesehatan, 2018; WHO, 2021; Chen, et. al, 2021; ECDC EASA, 2021). Meski sudah banyak aturan tentang karantina, pelanggaran masih tetap terjadi. Dalam kasus Rachel dan Salim, setidaknya ada tiga pelanggaran. Aturan yang diabaikan, yakni dugaan keterlibatan TNI, lokasi karantina, juga durasi karantina yang tidak sesuai dengan prosedur.

Dugaan keterlibatan salah satu anggota TNI pengamanan Bandara Soekarno Hatta dalam membantu Rachel dan Salim sudah melanggar tugas TNI yang bertanggung jawab atas pemantauan, pengendalian dan evaluasi dalam pemberlakukan karantina. Rachel dan Salim juga mestinya melakukan karantina dengan biaya sendiri, bukan di Wisma Atlet Pademangan milik pemerintah. Fasilitas itu ditujukan bagi pekerja migran Indonesia, pelajar atau mahasiswa yang mengikuti pendidikan atau tugas belajar dari luar negeri dan juga pemerintah yang kembali setelah perjalanan dinas. Ini sesuai dengan Addendum SE Nomor 8/2021.

Selain itu, mereka hanya menjalani karantina di Wisma Atlet Pademangan selama 3 x 24 jam. Ini tidak sesuai dengan SE Satgas Covid 19 Nomor 18/2021 yang mengatur waktu karantina 8 x 24 jam. Mulai 14 Oktober 2021, diberlakukan aturan sesuai dengan Surat Edaran No. 20 Tahun 2021 yang mana masa karantina setelah perjalanan adalah 5×24 jam.

Namun, ini bukan pertama kali beberapa warga kabur dari kewajiban karantina. Pada bulan April lalu, 6 WNI dari India menyuap petugas bandara Rp.6.500.000 agar lolos dari karantina. Pada bulan yang sama, ditemukan sejumlah WNA yang berkeliaran meski tengah menjalani karantina di salah satu apartemen di Jakarta.

Lemahnya sistem pengawasan dan adanya pihak yang bertindak curang memicu orang-orang, seperti Rachel lolos dari pengaturan karantina. Hal ini juga menunjukkan, pemerintah Indonesia masih belum tegas menerapkan aturan di lapangan dan tembang pilih dalam menegakkan aturan.

Padahal, karantina kesehatan yang sesuai prosedur penting untuk mencegah masuknya virus penyebab Covid-19 maupun varian baru lainnya. Menurut UU Kekarantinaan Kesehatan No. 6/2018, karantina digunakan untuk menangkal tersebarnya varian/penyakit baru (dalam hal ini Covid19) atau memperparah penyebaran penyakit yang sudah ada dan menimbulkan kedaruratan kesehatan atau mengeruhkan suasana. Pemberlakukan karantina setelah pulang dari luar negeri juga mencegah penularan virus dari kasus yang tidak terdeteksi (kasus false negative ataupun penularan yang terjadi selama penerbangan) di antara wisatawan lintas batas (ECDC EASA, 2021; Christidis dan Christodoulou, 2020).

European Centre Disease Control atau ECDC (2021) menyimpulkan bahwa karantina efektif 51,3% jika dijalankan selama 7 hari, 68,8% selama 10 hari dan 78,0% jika dilaksanakan 14 hari penuh. Artinya, semakin singkat masa karantina, semakin kecil pula efektivitasnya dalam menangkal laju penularan penyakit, termasuk Covid-19.

Dengan demikian, pemerintah harus menjatuhkan sanksi tegas agar menimbulkan efek jera, baik bagi para pelaku dan petugas yang menyelewengkan proses karantina. Pemerintah juga perlu meningkatkan monitoring dan evaluasi baik dari segi peraturan maupun implementasi di lapangan sekaligus pengawasan terhadap para pelaku perjalanan internasional.

Pengawasan juga harus dilakukan kepada petugas yang bertanggung jawab dalam memantau, mengendalikan, dan mengevaluasi karantina tersebut. Apalagi, Bali sejak 14 Oktober 2021 telah membuka penerbangan internasionalnya. Maka, aturan di lapangan harus diimplementasikan dengan tegas. Jika tidak, pandemi covid-19 di Indonesia bisa kembali memburuk.

 

Referensi:

Chen Z, Yu M, Wang Y, Zhou L. 2021.The effect of the synchronized multi-dimensional policies on imported COVID-19 curtailment in China. PLoS ONE 16(6): e0252224. https://doi.org/ 10.1371/journal.pone.0252224

Christidis, Panayotis dan Christodoulou, Aris. 2020. The Predictive Capacity of Air Travel Patterns during the Global Spread of the COVID-19 Pandemic: Risk, Uncertainty and Randomness. Int. J. Environ. Res. Public Health. 17, 33-56;

European Centre for Disease Prevention and Control and European Union Aviation Safety Agency (ECDC EASA). 2020. Guidelines for COVID-19 testing and quarantine of air travellers Addendum to the Aviation Health Safety Protocol. 2 December 2020.

World Health Organization (WHO). 2021. Technical considerations for implementing a risk-based approach to international travel in the context of COVID-19 Interim guidance Annex to Policy considerations for implementing a risk-based approach to international travel in the context of COVID-19.

 

 

 

Siaran pes ini dapat diunduh melalui tautan berikut