Kematian pasien di luar fasilitas kesehatan, termasuk mereka yang isoman, menandai kegagalan rumah sakit menampung lonjakan pasien yang terus terjadi. Ini indikator paling nyata kolapsnya faskes kita.
24 Juli 2021 – LaporCovid-19 mengumpulkan data-data kematian karena Covid-19 yang terjadi di luar fasilitas kesehatan, termasuk saat isolasi mandiri, sejak pertengahan Juni hingga kini. Dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada 22 Juli 2021, Said Fariz Hibban, Analis Data LaporCovid-19, menyebutkan bahwa terdapat 2.313 korban jiwa akibat isolasi mandiri. Data ini didapatkan dari rekapan kematian yang dilakukan oleh LaporCovid-19 untuk periode 1 Juni hingga 21 Juli 2021.
Selain berdasarkan data crowdsourcing atau dari laporan warga maupun penelusuran aktif di media dan media sosial, kemudian diverifikasi, data juga didapatkan dari laporan sejumlah lembaga kolaborator. Sebanyak 708 korban jiwa didapatkan oleh LaporCovid-19, CISDI melaporkan 446 korban jiwa dalam 30 Juni 2021 hingga 6 Juli 2021 di 100 puskesmas di Jawa Barat, dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyampaikan 1.161 korban jiwa dalam rentang waktu selama awal Juni hingga 21 Juli 2021 di wilayah kerja mereka.
Dari data ini, laporan kematian pasien di luar rumah sakit telah ditemukan di 78 kabupaten/kota di 16 provinsi. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kematian kasus isolasi mandiri terbanyak, yaitu sebanyak 1214 setelah kita gabungkan angka dari Dinkes DKI dengan
temuan kita. Kota Jakarta Timur menjadi Kota dengan korban jiwa akibat isolasi mandiri terbanyak sebesar 403, kabupaten terbanyak di Klaten sebanyak 99, tutur Said Fariz Fariz Hibban.
Kematian tertinggi terjadi pada tanggal 29-30 Juni 2021 dan 13-14 Juli 2021. Namun ini belum termasuk angka-angka kematian yang tidak tercatat tanggal kematiannya. Tentu angka ini bukan angka sebenarnya, karena masih banyak lagi data yang belum kami dapatkan, kami berharap lembaga-lembaga lain terkait yang memiliki akses data kematian transparan juga. kata Said Fariz Hibban.
Ahmad Arif, co-lead LaporCovid-19 mengatakan, tingginya kematian isolasi mandiri di Jakarta bukan berarti daerah lain lebih rendah. Namun, hal ini karena data di Jakarta sudah mewakili kondisi real, berkat pendataan yang baik oleh Dinkes DKI Jakarta dan kesedian
mereka membagi datanya. “Sebelum adanya data resmi dari DKI Jakarta, laporan tentang kematian isoman lebih banyak dari Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten, baru DKI Jakarta. Jadi, sangat mungkin daerah-daerah lain lebih besar korbannya, namun belum terdata dan terlaporkan dengan transparan. Ini seperti fenomena puncak gunung es,” kata dia.
Oleh karena itu, Arif berharap adanya transparansi data kematian pasien isoman, yang seharusnya bisa menjadi indikator nyata kolapsnya fasilitas kesehatan di suatu daerah. “Isoman seharusnya diperuntukkan bagi pasien gejala ringan atau bahkan tanpa gejala. Namun, karena
rumah sakit penuh, pasien dengan gejala sedang hingga berat terpaksa isoman di rumah, dan akhirnya tak tertolong lagi,” kata dia.
Selain itu, kematian isoman juga menandakan tidak berjalannya dengan baik pemantauan maupun dukungan bagi mereka, oleh fasilitas kesehatan primer maupun oleh lingkungan setempat. Untuk mengurangi risiko kematian pasien isoman, Arif mengusulkan, daerah agar memperbanyak pusat isolasi mandiri dengan pemantauan dari nakes. “Banyak masyarakat kesulitan menjalani isoman, terutama jika seluruh anggota keluarganya juga positif. Dukungan pemantuan kesehatan maupun logistik sangat dibutuhkan,” kata dia.
Selain karena faskes yang penuh, Arif juga menyebutkan, banyak pasien isoman yang sengaja menghindari rumah sakit, di antaranya karena termakan mis-informasi “pengkovidan”. Beberapa pasien menganggap bahwa itu sakit biasa, sehingga telat diperiksa dan meninggal. Hal ini terutama terjadi di kawasan suburban dan rural, yang merupakan buah dari kegagalan komunikasi risiko selama ini.
Arif mengatakan, transparansi data dan komunikasi risiko yang baik diperlukan agar masyarakat sadar risiko, peduli, dan taat protokol kesehatan, termasuk bisa merespon dengan tepat jika ada yang memiliki gejala Covid-19. Informasi yang baik, transparan, apa adanya akan membangung sense of crisis di masyarakat.
Mengenai pelaporan data kematian di DKI Jakarta, dr. Lies Dwi, Kepala bidang pencegahan dan pengendalian penyakit (P2P) Dinkes DKI, menuturkan bahwa DKI Jakarta berupaya memiliki pelaporan data kematian yang bisa diandalkan, karena kami sudah melakukan surveilans kematian mulai dari tahun 2018, baik yang meninggal di dalam RS atau luar fasyankes, termasuk pemberian sertifikat pada mereka yang meninggal di RS dan luar fasyankes.
Kerja kolaboratif lintas-sektor juga dilakukan oleh Dinkes DKI, Pencatatan kematian dimanfaatkan oleh Dinas Taman Kota di bagian pemakaman yang menghimpun data pemakaman. Data tersebut dipakai oleh Dukcapil untuk pencatatan kependudukan. tutur dr.
Lies Dwi.
dr. Vini, Kabid Yankes Dinkes Jawa Barat, juga menyatakan bahwa penatalaksanaan kasus di luar faskes butuh bantuan dari berbagai sektor. Kami harap berbagai lembaga
masyarakat juga dapat membantu pemantauan pasien di luar fasilitas kesehatan. Ada pasien
yang tidak terpantau karena keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan, walau kami sudah
siapkan pusat isolasi
dr. Sutrisno, SpOG. K, Ketua IDI Jawa Timur, mengingatkan kembali bahwa penanganan pandemi, khususnya menekankan kematian saat isolasi mandiri, perlu adanya angka testing yang sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia untuk dapat menjaring data pasien positif secara akurat. Dengan adanya testing yang kuat, maka data pasien positif akan terdata secara dini dan terjaring , sehingga fasilitas tidak kebanjiran. Ketika fasilitas kesehatan meluap maka warga meninggal saat isolasi mandiri dan mereka tidak tercatat pada data
kematian
Banyaknya kasus kematian isolasi mandiri tidak dilaporkan membuat data ini tidak dapat dijadikan untuk pengambilan keputusan. Jangan heran jika data di Malang hanya 0, padahal data di kuburan hampir 20-30 kali lipat, tapi ini terjadi di seluruh kota/kabupaten tutur Ketua IDI Jatim ini.
Diah Saminarsih, Senior Advisor on Gender on Youth WHO dan pendiri CISDI, menjelaskan bahwa 446 kematian dalam isolasi mandiri dari 100 puskesmas di 12 kabupaten kota di Jawa Barat di bawah program PUSPA (Puskesmas Terpadu dan Juara) kemungkinan masih under-reported, karena dari 100 puskesmas, yang melakukan melakukan pelaporan lengkap hanya 97 puskesmas dan saat itu, beberapa relawan PUSPA juga mengalami Covid-19.
Kematian terbanyak pada lansia dan orang berkomorbid. Dari 925 Kartu Keluarga yang diambil sampelnya, 38% tidak berada dalam kondisi rumah yang memungkinkann untuk isolasi mandiri, seperti tinggal bersama orang dengan komorbid, ibu hamil, anak kecil, lansia (tidak bisa memisahkan antara anggota yang sakit dengan keluarga yang sehat).
Rekomendasi
Melihat tren kematian isolasi mandiri, LaporCovid-19 mendesak Pemerintah Pusat maupun
Daerah untuk:
LaporCovid-19 adalah wadah (platform) sesama warga untuk berbagi informasi mengenai angka kejadian terkait COVID-19 di sekitar kita. Pendekatan bottom-up melalui citizen reporting atau crowdsourcing agar setiap warga bisa ikut menyampaikan informasi seputar kasus terkait COVID-19. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi:
Website: www.laporcovid19.org
IG: @laporcovid19
Twitter: @laporcovid
FB: Koalisi Warga LaporCovid-19
Narahubung: Amanda (+6285866044058)